KH. Achmad Muzakki Syah dan adiknya (KH. Mahsun Syah) , pada masa mudanya hidup dalam suasana lingkungan keluarga yang harmonis dan agamis, hingga beliau berdua dewasa. Selain itu, sebagai keluarga yang sangat sadar akan pentingya pendidikan, KH. Achmad Syaha tidak ingin kedua putranya ketinggalan, maka ketika usia Muzakki menginjak tujuh tahun, ia didaftarkan di SDN Kedemangan.
Begitu tamat SD, Muzakki di kirim ke Ponorogo untuk nyantri di Gontor, setelah setahun di Gontor, Muzakki pulang dan langsung mendaftarkan diri di Madrasah Tsanawiyah 02 Jember yang saat itu gedungnya masih numpang di PGAN Jember. Setelah tamat, Muzakki lagi-lagi ingin menimba ilmu di pesantren, kali ini yang dipilihnya adalah pesantren Darul Ulum Peterongan-Jombang, baru setahun berguru ke KH. Mustain Romli di Peterongan, Muzakki pulang lagi ke Jember dan langsung mondok di pesantren al-Fattah Jember, berguru pada KH. Dhofir Salam sambil sekolah di SP IAIN dan melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Ampel Jember.
Di pondok pesantren, Muzakki remaja hanya bermaksud mengambil barakah karenanya ia tidak pernah lama, sebagian besar waktunya justru digunakan untuk berkelana kesana-kemari sowan ke para ulama sepuh, para wali, dan ahli-ahli karomah, ketika di al-Fattah pun, dia bersama KH. Dhofir, justru setiap minggu sowan ke waliyullah KH. Abd. Hamid Pasuruan Jawa Timur.
Pernah suatu ketika Muzakki terpesona menyaksikan aktivitas dzikir jama'ah tarekat Naqsabandiyah di pesantren Darul Ulum Peterongan, lalu dia minta izin pada abahnya untuk ikut tarekat Naqsabandiyah pimpinan KH. Mustain Romli tersebut, namun niat Muzakki tak kesampaian, abahnya tidak mengijinkannya, ketahuilah anakku kata abahnya, ikut tarekat seperti itu lama untuk mencapai maqom kewalian, ada yang lebih mudah dan cepat, yakni meniru tarekatnya para ulama dan auliya' Madura. ---tidak ada niatan lain dari kisah ini yang ingin menomor duakan tarekat naqsabandiyah, sebab jawaban dari abah Kyai Muzakki ini adalah persepsi yang subjektif. mohon untuk tidak terlalu di persoalkan, sebab semua orang bebas memilih jalannya masing-masing----.
Sejak nyantri di di pesantren al-Fattah, Muzakki remaja tidak lagi berkumpul dengan kedua orng tuanya, sebab sejak itu KH. Achmad Syaha bersama istri dan putra bungsunya (Mahsun) hijrah dari Kedawung ke daerah Gebang Poreng.Sementara Muzakki tetap tinggal bersama Nyai Hj. Syadali (neneknya) dan KH. Yazid (pamannya) di Kedawung, sejak kepergian KH. Achmad Syaha, musholla peninggalan KH. Syadali diserahkan kepada KH. Yazid. Setelah beberapa tahun memperluas syiar Islam di Gebang Poreng, mereka hijrah lagi dan menetap sampai akhir hayatnya di daerah Pengarang Bondowoso.
Menurut keterangan Pak Mus, salah seorang teman yang masih tetangga KH. Achmad Syaha di Gebang Poreng, beberapa bulan sebelum KH. Achmad Syaha hijrah ke Bondowoso, beliau sempat bilang ke saya "Mus...torain yah, mon sengkok tak kerah japo', tapeh ba'na mesteh japo', tang anak (Muzakki) paggik bekal deddih oreng rajeh, se ekabuto ummat deri mandimman"
(Pak Mus... catat ya, kalau saya tidak nututi, tapi kamu pasti nututi, anak saya (Muzakki) nanti akan jadi tokoh besar yang dibutuhkan ummat dari mana-mana)
EmoticonEmoticon