Kamis, 19 Oktober 2017

KH AHMAD MUZAKKI SYAH JARANG TIDUR SEJAK MUDA

Tulisan ini kami sarikan dari wawancara Radar Jember Jawa Post 2017
Beberapa hari yang lalu Radar Jember melakukan wawancara dengan Kiai Muzakki di kediaman beliau.
Para Crew bertanya banyak sesuatu kepada beliau.

Karena levelnya lokal sehingga kami berniat agar lebih membumi di Nusantara, dengan cara kami menulis ulang hasil wawancara Radar Jember seperti yang kami tulis ulang di bawah ini.

Semoga kita bisa mengambil hikmahnya. amin

Inilah Isi wawancara Radar Jember tersebut:

SEJAK MUDA JARANG TIDUR MALAM


Berapa lama Kiai Achmad Muzakki Syah beristirahat (tidur) dalam sehari-semalam? Memang tak banyak yang tahu. Namun sejumlah santri dan koleganya memastikan ulama “fenomental” yang dekat dengan umat ini jarang tidur malam. Bagaimana menjaga kesehatannya?


Padatnya kegiatan ritual (pengajian) yang harus dijalani Kiai Muzakki -panggilan akrabnya- memang menyita waktu istirahat. Dan itu disadari benar oleh tiga bersaudara pasangan Kiai Achmad Syaha-Hj Fatimatuz Zahro ini. Namun itu semua dianggap sudah “risiko” perjuangan untuk mengembangkan dakwah di tengah umat.

“Mungkin saya tidur satu dua jam saja. Itu pun pagi hari kalau sudah tidak ada tamu,” ujarnya kepada Jawa Pos Radar Jember, di sela-sela menemui para tamunya, Jumat pekan lalu. Biasanya, usai salat subuh berjamaah dengan para santri, Kiai Muzakki membaca amalan rutin. Jika tidak terlalu lelah, disempatkan keliling area pondok melihat dan mengontrol kondisi fasilitas pesantren.

Setelah itu, sambil minta dipijati satu dua santrinya, barulah bisa tidur. Tapi sekitar jam 09.00 atau jam 10.00, sudah terbangun lagi untuk beraktivitas. Semua itu dilakukan atas dasar cinta kepada profesi dan umat. “Kalau bekerja atas dasar cinta dan ikhlas, insya Allah tak mengenal lelah. Saya juga tak memakai obat-obatan atau jamu khusus. Biasa saja. Yang penting tidak lupa minum air putih yang banyak,” imbuhnya.

Kebiasaan jarang tidur malam itu, kata kawan-kawannya sudah dijalani sejak remaja. Ketika nyantri di Ponpes Al-Fatah, Talangsari, Kiai Muzakki dikenal suka wiridan hingga dinihari, bahkan pagi. Mondoknya pun tak pernah lama. Selain di Al-Fatah, Kiai Muzakki juga pernah nyantri di Ponpes Darul Ulum, Peterongan, Jombang, dan Gontor Ponorogo. “Istilahnya hanya tabarrukan (mencari berkah pondok, Red),” tutur Akhmad Rifai, salah seorang asisten pribadinya.

Seperti yang diceritakan dalam buku “Mutiara dalam Samudera”, karya Dr Hefni Zen dan Moch. Holili MPdI (2007), sejak balita  Kiai Muzakki memang telah memiliki banyak kelebihan. Dan itu juga telah “disinyalkan” oleh ayahandanya KH Achmad Syaha bahwa kelak anaknya akan menjadi orang yang bermanfaat untuk umat. Selain senang menimba ilmu dari berbagai ulama besar, Muzakki (kecil) juga sempat mendalami ilmu gaib.

Di bidang pendidikan, Kiai Muzakki sempat kuliah tingkat dua di IAIN Jember. Setelah itu dia banyak mengelana sambil menimba ilmu secara khusus pada sejumlah ulama. Termasuk belajar secara otodidak, berkat kelebihan yang dimiliki.

Ketertarikannya pada ritual tarikat, ketika sedang nyantri di Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Saat itu dia menyaksikan zikir ribuan jamaah Thariqat Nasyabandiah, pimpinan KH Mustain Romly. Sayang, ketika minta izin kepada abahnya (Kiai Syaha), untuk mengikuti tarikat tersebut, sang ayah tidak mengizinkan. Alasannya, terlalu lama dan memakan waktu. Sang ayah, justru menyuruhnya meniru tarikat para ulama dan auliya Madura.

Ponpes Al-Qodiri baru didirikan oleh Kiai Muzakki tahun 1976, di atas lahan 5.000 meter persegi. Dibantu sahabatnya sesama alumni Al-Fatah, Talangsari, Jember, Abdul Jaelani. Dipilihnya nama Al-Qodiri karena terispirasi oleh thariqat dan nama besar Syeh Abdul Qodiq al-Djaelani. Selain juga hasil salat istikharah Kiai Muzakki sendiri. Jika awal berdirinya Ponpes Al-Qodiri hanya 9 orang santri, kini jumlahnya sudah mencapai 4.000-santri pria-wanita.

Demikian pula pengembangan lembaga pendidikannya. Kini telah mencapai 350-an unit pendidikan di bawah naungan ataupun fillial Al-Qodiri. Bahkan, sejak beberapa tahun lalu, pesantren yang tergolong muda (dibanding sejumlah pesantren yang berusia ratusan tahun), kini telah membuka sekolah umum dan perguruan tinggi bernama Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Qodiri (Staiqod). Lahanya pun yang semula hanya 5.000 meter, kini telah berkembang lebih dari 25 hektare.

Sebagai ulama sangat berpengaruh hingga mancanegara, tentu saja Kiai Muzakki telah menyiapkan pengganti penerus dakwahnya kelak. Salah satunya adalah Gus Taufiqur Rahman, yang konon menjadi “pewaris tahta” pesantren. Alasannya, sang putra sulung ini memiliki kesamaan dengan ayahandanya, terutama keistikamahannya dalam berzikir, kedermawanan, dan kedigdayaannya.

Selain Gus Taufiq, pasangan Kiai Muzakki-Hj Halimah  ini juga memiliki tiga putra, yakni  Ilmi Mufidah, Achmad Fadhil, dan Hilmi, yang semuanya siap meneruskan perjuangan sang ayah. Bahkan, Hj Halimah, sang istri, sudah lama menjadi penceramah unggulan, yang setiap saat siap menggantikan Kiai Muzakki dalam mengisi pengajian.

(jr/sh/hdi/das/JPR)


EmoticonEmoticon