Tulisan ini kami sarikan dari wawancara Radar Jember Jawa Post 2017
Beberapa hari yang lalu Radar Jember melakukan wawancara dengan Kiai Muzakki di kediaman beliau.
Para Crew bertanya banyak sesuatu kepada beliau.
Karena levelnya lokal sehingga kami berniat agar lebih membumi di Nusantara, dengan cara kami menulis ulang hasil wawancara Radar Jember seperti yang kami tulis ulang di bawah ini.
Semoga kita bisa mengambil hikmahnya. amin
Inilah Isi wawancara Radar Jember tersebut:
SEJAK MUDA JARANG TIDUR MALAM
Beberapa hari yang lalu Radar Jember melakukan wawancara dengan Kiai Muzakki di kediaman beliau.
Para Crew bertanya banyak sesuatu kepada beliau.
Karena levelnya lokal sehingga kami berniat agar lebih membumi di Nusantara, dengan cara kami menulis ulang hasil wawancara Radar Jember seperti yang kami tulis ulang di bawah ini.
Semoga kita bisa mengambil hikmahnya. amin
Inilah Isi wawancara Radar Jember tersebut:
SEJAK MUDA JARANG TIDUR MALAM
Berapa
lama Kiai Achmad Muzakki Syah beristirahat (tidur) dalam sehari-semalam? Memang
tak banyak yang tahu. Namun sejumlah santri dan koleganya memastikan ulama
“fenomental” yang dekat dengan umat ini jarang tidur malam. Bagaimana menjaga
kesehatannya?
Padatnya
kegiatan ritual (pengajian) yang harus dijalani Kiai Muzakki -panggilan
akrabnya- memang menyita waktu istirahat. Dan itu disadari benar oleh tiga
bersaudara pasangan Kiai Achmad Syaha-Hj Fatimatuz Zahro ini. Namun itu semua
dianggap sudah “risiko” perjuangan untuk mengembangkan dakwah di tengah umat.
“Mungkin
saya tidur satu dua jam saja. Itu pun pagi hari kalau sudah tidak ada tamu,”
ujarnya kepada Jawa Pos Radar Jember, di sela-sela menemui para tamunya, Jumat
pekan lalu. Biasanya, usai salat subuh berjamaah dengan para santri, Kiai
Muzakki membaca amalan rutin. Jika tidak terlalu lelah, disempatkan keliling
area pondok melihat dan mengontrol kondisi fasilitas pesantren.
Setelah
itu, sambil minta dipijati satu dua santrinya, barulah bisa tidur. Tapi sekitar
jam 09.00 atau jam 10.00, sudah terbangun lagi untuk beraktivitas. Semua itu
dilakukan atas dasar cinta kepada profesi dan umat. “Kalau bekerja atas dasar
cinta dan ikhlas, insya Allah tak mengenal lelah. Saya juga tak memakai
obat-obatan atau jamu khusus. Biasa saja. Yang penting tidak lupa minum air
putih yang banyak,” imbuhnya.
Kebiasaan
jarang tidur malam itu, kata kawan-kawannya sudah dijalani sejak remaja. Ketika
nyantri di Ponpes Al-Fatah, Talangsari, Kiai Muzakki dikenal suka wiridan
hingga dinihari, bahkan pagi. Mondoknya pun tak pernah lama. Selain di
Al-Fatah, Kiai Muzakki juga pernah nyantri di Ponpes Darul Ulum, Peterongan,
Jombang, dan Gontor Ponorogo. “Istilahnya hanya tabarrukan (mencari berkah
pondok, Red),” tutur Akhmad Rifai, salah seorang asisten pribadinya.
Seperti
yang diceritakan dalam buku “Mutiara dalam Samudera”, karya Dr Hefni Zen dan
Moch. Holili MPdI (2007), sejak balita
Kiai Muzakki memang telah memiliki banyak kelebihan. Dan itu juga telah
“disinyalkan” oleh ayahandanya KH Achmad Syaha bahwa kelak anaknya akan menjadi
orang yang bermanfaat untuk umat. Selain senang menimba ilmu dari berbagai
ulama besar, Muzakki (kecil) juga sempat mendalami ilmu gaib.
Di
bidang pendidikan, Kiai Muzakki sempat kuliah tingkat dua di IAIN Jember.
Setelah itu dia banyak mengelana sambil menimba ilmu secara khusus pada
sejumlah ulama. Termasuk belajar secara otodidak, berkat kelebihan yang
dimiliki.
Ketertarikannya
pada ritual tarikat, ketika sedang nyantri di Darul Ulum, Peterongan, Jombang.
Saat itu dia menyaksikan zikir ribuan jamaah Thariqat Nasyabandiah, pimpinan KH
Mustain Romly. Sayang, ketika minta izin kepada abahnya (Kiai Syaha), untuk
mengikuti tarikat tersebut, sang ayah tidak mengizinkan. Alasannya, terlalu
lama dan memakan waktu. Sang ayah, justru menyuruhnya meniru tarikat para ulama
dan auliya Madura.
Ponpes
Al-Qodiri baru didirikan oleh Kiai Muzakki tahun 1976, di atas lahan 5.000
meter persegi. Dibantu sahabatnya sesama alumni Al-Fatah, Talangsari, Jember,
Abdul Jaelani. Dipilihnya nama Al-Qodiri karena terispirasi oleh thariqat dan
nama besar Syeh Abdul Qodiq al-Djaelani. Selain juga hasil salat istikharah
Kiai Muzakki sendiri. Jika awal berdirinya Ponpes Al-Qodiri hanya 9 orang
santri, kini jumlahnya sudah mencapai 4.000-santri pria-wanita.
Demikian
pula pengembangan lembaga pendidikannya. Kini telah mencapai 350-an unit
pendidikan di bawah naungan ataupun fillial Al-Qodiri. Bahkan, sejak beberapa
tahun lalu, pesantren yang tergolong muda (dibanding sejumlah pesantren yang
berusia ratusan tahun), kini telah membuka sekolah umum dan perguruan tinggi bernama
Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Qodiri (Staiqod). Lahanya pun yang semula hanya
5.000 meter, kini telah berkembang lebih dari 25 hektare.
Sebagai
ulama sangat berpengaruh hingga mancanegara, tentu saja Kiai Muzakki telah
menyiapkan pengganti penerus dakwahnya kelak. Salah satunya adalah Gus Taufiqur
Rahman, yang konon menjadi “pewaris tahta” pesantren. Alasannya, sang putra
sulung ini memiliki kesamaan dengan ayahandanya, terutama keistikamahannya
dalam berzikir, kedermawanan, dan kedigdayaannya.
Selain
Gus Taufiq, pasangan Kiai Muzakki-Hj Halimah
ini juga memiliki tiga putra, yakni
Ilmi Mufidah, Achmad Fadhil, dan Hilmi, yang semuanya siap meneruskan
perjuangan sang ayah. Bahkan, Hj Halimah, sang istri, sudah lama menjadi
penceramah unggulan, yang setiap saat siap menggantikan Kiai Muzakki dalam
mengisi pengajian.
(jr/sh/hdi/das/JPR)
EmoticonEmoticon