Sepulangnya dari bertapa di gua Payudan Madura tahun 1973, Kiai Muzakki Syah kembali lagi ke Gebang Poreng bertemu keluarga dan sanak familinya. Bagi istri dan putranya yang saat itu sudah berumur tiga tahun, kedatangan Kiai Muzakki disambut dengan kegembiraan dan keharuan yang tiada tara. betapa tidak, sejak kepergiaannya di tahun 1971, putranya yang kala itu masih berumur setahun, kini sudah menjadi anak mungil dan lucu.
Hampir dua bulan Kiai Muzakki mengamati perkembangan kondisi sosial keagamaan masyarakat Gebang Poreng. Baginya keberadaan Gebang Poreng waktu itu masih tidak berbeda dengan dua tahun sebelumnya, masih sepi suara adzan, masih jarang yang mendirikan sholat, yang marak justru pencurian, perampokan, judi dan berbagai bentuk mungkarat lainnya, yang ada waktu itu hanya sebuah mushalla kecil di pojok dusun yang konon mengajarkan agama sejati [agama eling] di bawah pimpinan bapak Astumi. Gebang Poreng masih tetap seperti dulu, belum ada listrik, gelap segelap hati masyarakatnya.
Realitas ummat yang memprihatinkan tersebut, mendorong Kiai Muzakki mendirikan sebuah musholla walau amat sederhana dan terbuat dari gedek, dalam pandangan kiai Muzakki, sesungguhnya yang essensial dari sebuah mushalla atau masjid bukan bangunan fisiknya, melainkan efektifitas fungsinya sebagai pusat peribadatan dan da'wah, pusat aktifitas agama, pusat pembinaan ummat, pusat pengokoh ukhuwah islamiyah, sarana perjuangan, pusat syi'ar, ta'lim, ta'dzib dan tarbiyah, pusat pertemuan dan pusat kegiatan sosial.
Sebagai upaya memakmurkan musholla yang telah didirikannya itu, kyai Muzakki mulai istiqomah memimpin sholat maktubah secara berjama'ah dengan anggota keluarganya, sanak famili dan tetangga dekatnya, dan bersama mereka pula, setiap ba'da maghrib Kyai Muzakki mengajar anak-anak kecil membaca al-Qur'an, setiap ba'da isya' membaca dzikir manaqib syaikh Abdul Qodir Jailani, dan setiap ba'da subuh membaca tafsir surat yasin.
Semakin hari, masyarakat yang berjamaah di musholla tersebut terus bertambah, bahkan ada dua orang santri yang menetap di musholla itu sebagai muadzzin yang kemudian dibuatkan gubuk oleh Kyai Muzakki sebagai tempat menginap mereka, menurut keterangan KH. Ridlwan, sejak berdirinya musholla itu, nuansa keagamaan di Gebang Poreng sedikit demi sedikit mulai menggeliat, gema adzan dan dzikir puji-pujian mulai membahana di setiap waktu menjelang sholat maktubah.
Video diatas adalah suasana Manaqib Pesantren Al-Qodiri 1 Jember ketika Jum'at Manis / Jum'at legi
Sekitar tahun 1976 berawal dari pertemuannya dengan Ust. Abdullah Jailani sahabat karibnya yang terkenal pandai baca kitab kuning ketika masih nyantri di Al-Fatah dulu, keinginan Kyai Muzakki untuk mendirikan pondok pesantren semakin mantap, diajaklah temannya itu untuk tinggal bersamanya di Gebang guna bersama-sama membina dan membesarkan pesantren yang hendak dibangunnya itu. Selang beberapa hari setelah Ust. Abdullah Jailani menyetujui ajakan Kyai Muzakki, maka pada tanggal 19 Robi'us Tsani 1397 H. bertepatan dengan tanggal 16 Mei 1976 didirikanlah bangunan pesantren di atas tanah seluas 5000 M. yang kemudian diberi nama "Pondok Pesantren Al-Qodiri" Jember.
Pemberian nama al-Qodiri menurut Ust. Abdullah Jaelani didasarkan pada beberapa hal, pertama disandarkan pada asma Allah "al-Qaadir" yang berarti dzat yang maha kuasa di atas segala-galanya. Penyandaran kepada asma Allah tersebut dimaksudkan agar kuasa Allah terpusat di lembaga ini sehingga seluruh tamu yang datang, para santri, jama'ah, atau siapapun yang datang, ke al-Qodiri dikabulkan semua hajatnya, sebab Allah maha kuasa atas segala sesuatu termasuk mengabulkan hajat-hajat mereka.
EmoticonEmoticon